Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan
hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati
hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih
demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu
melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap
permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti
bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi
pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah
berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan
selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga
engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan
jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu,
wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi
mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku,
semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku
mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan
duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau
telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping
hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan
berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan
kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh
kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu,
sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam
yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak
mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat
rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi
penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya
untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka
bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering,
aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan
yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan
harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa
hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil
menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar